Langsung ke konten utama

MAKALAH TAFSIR TEMATIK TENTANG RIBA

Kata pengantar
Segala puji bagi allah tuhan semesta alam dan kepada kekasihnya yakni nabi muhammad sebagai sari tauladan bagi seluruh manusia.  sebagai orang  islam harus berpedoman kepada al-alqur’an akan tetapi banyak para ulama yang mendalami lebih jauh tentang makna al-qur’an salah satunya dengan cara sistem temati sebelum membahas sistem tematik maka perlu di ketahui tentang tafsir maudhu’I.
Menurut istilah para ulama tafsir maudhu’I adalah menghimpunkan seluruh ayat al-qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang sama. Setelah itu kalau kemungkinan di susun berdasarkan kronologis turunnya dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya. Langkah selanjutnta adalah menguraikan nya dengan menjelejahi seluruh aspek yang dapat di gali. Tulisannya di ukur dengan timbangan teori-teori akurat sehingga si mufassir dapat menyajikan tema secara utuh dan sempurna. Bersama dengan itu, dikemukakan pola tujuannya yang menyeluruh dengan ungkapan yang mudah dipahami sehingga bagian-bagian yank terdalam sekali pun dapat di salami.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang lain apabila ada kesalahan dalam membuat makalah ini itu merupakan kekurangan dari penulis.
BAB I
PENDAHULUAN
Al-qur’an sesenguhnya menghimpun tema-tema yang perlu di gali dengan menggunakan metudi maudhu’I (temetik) seandainya seorang peneliti menggunakan metude ini dengan dengan penuh kejeniusan, tampaklah kepada kita kandungan Al-qur’an berapa di antaranya penetapan syari’at yang cocok untuk setiap waktu dan tempat. Dari sana kita dapat menetapkan undang-undang kehidupan yang siap berhadapan dengan dinamika kehidupan undang-undang wadh’iyyah, dan unsur-unsur ekstral yang kita hadapi dalam keragamaan kita sehari-hari.
Sebagai contoh, ayat-ayat yang menetapkan ketuhanan dan keesaan allah banyak terdapat pada surat-surat makkiyah dan surat-surat madaniyyah. Seandainya ada seorang mufassir menghimpun ayat-ayat itu mengurutnya atas dasar semangat metode maudhu’i (tematik) dan tepat, tidak akan ada lagi keraguan di dalam hati orang-orang kafir. Demikan pula ayat-ayat yang melarang riba dengan menggunakan metode ini si mufassir akan melihat bahwa larangan itu pada dasarnya merupakan kasih sayang allah kepada hamba-hambanya.
Persoalan riba sangat mempengaruhi pelakunya dalam segala aspek kehidupan, salah satunya dapat menyebabkan kesengsaraan secara ekonomi terutama bagi pihak yang melakukan peminjaman bunga. Oleh karena itu, Allah membenci dan melarang riba. Kegiatan tentang larangan riba di dalam Islam, telah jelas dinyatakan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 278-279. Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktek transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun menjadi haram, ataukah tidak sama.

BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Tafsir Tematik Tentang Riba
Dalam Al-Qur’an ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat, tiga diantarannya turun setelah Nabi Hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang  di Makkah walaupun menggunakan kata riba (QS. Al-Rum (30) : 39) ulama sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain. Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap. Adapun ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan masalah riba diantaranya :
.  1)   Surat Ar-Ruum ayat 39
 وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (الروم : 39)
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
2) Surat An-Nisaa’ Ayat 160 dan 161.

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا 
(النساء : 160 ،161 )
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”

   3) Surat Ali Imron Ayat 130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
    Surat Al-Baqarah Ayat 275-276.

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276)
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah  disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa yang datang kepadanya peringatan dari Allah. Lalu ia berhenti  maka  baginya  adalah  apa  yang telah berlalu  dan urusannya  adalah  kepada Allah dan barang siapa yang kembali lagi, maka  mereka  adalah penghuni  neraka yang kekal di dalamnya. Allah akan menghapus riba dan melipat gandakan sedekah dan Allah tidak suka kepada orang-orang kafir lagi pendosa”.(QS. Al-Baqarah : 275- 276)

   4) Surat Al-Baqarah Ayat 278-279
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)
“Hai orang-orang yang  beriman, bertakwalah  kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba jika  memang  kamu  orang  yang  beriman.  Jika  kamu  tidak melakukannya,   maka   terimalah   pernyataan   perang   dari Allah  dan  rasul  Nya  dan  jika  kalian  bertobat  maka  bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim dan tidak  pula  dizalimi”. (QS. Al-Baqarah : 278- 279.

1.2 tafsir ayat tentang riba
Dalam ayat Al-Qur’an yang telah diutarakan di atas para Ulama Mufasirin atau Ahli Tafsir dalam mentafsiri Ayat Al-Qur’an terdapat berbagai pemahaman yang berbeda-beda. Dalam ayat yang pertama Surat Ar-Ruum ayat 39 dalam Kitab Jalalain karya Al-Imamaini yakni Syeh Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al Mahallii dan Jalaluddin Abdul Ar Rohman bin Abu Kar As Syuyuti, menafsiri bahwa Lafadz “وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا ”yakni umpamanya sesuatu yang diberikan atau dihadiahkan kepada orang lain supaya dari apa yang telah diberikan orang lain memberikan kepadanya basalan yang lebih banyak dari apa yang telah ia berikan, pengertian sesuatu dalam ayat ini dinamakan tambahan yang dimaksudkan dalam masalah muamalah. Kemudian dilanjutkan lafadz “ لِيَرْبُوَ“ yakni orang-orang yang memberi itu, mendapatkan balasan yang bertambah banyak, dari sesuatu hadiah yang telah diberikan.sedangkan “ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ “ yang terdapat penjelasana yakni riba itu tidak menambah banyak inda Allah atau disisi Allah dalam arti tidak ada pahalanya bagi orang-orang yang memberikannya. وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ ... ألحini bahwa orang-orang yang melakukan sedekah semata-mata karena Allah, untuk mendapatkan keridhoaan-Nya inilah yang akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah, sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Di dalam  ungkapan ini terkandung makna sindiran bagi orang-orang yang diajak bicara atau mukhathabin”.
Dalam uraian di atas dalam kami simpulkan bahwa :
  1. Riba di dalam Muamalah yang tidak akan mendadikan tambah di sisi Allah atau Inda Allah.
  2. Tidak mendapat pahala orang yang melakukan riba atau tambahan.
  3. Anggapan salah yang ditolak, bahwa pinjaman riba yang pada diri orang yang memberi hadiah, seolah-olah menolong mereka yang membutuhkannya dan juga melakukan suatu perbuatan untuk mendekati takarrub kepada Allah.
  4. Shodaqoh merupakan perkara yang dilipat-lipat gandakan oleh Allah kepada orang yang bersedekah.
Ayat yang bersifat peringatan untuk tidak melakukan hal yang negatif atau perkara yang dilarang oleh Allah. Ayat ini tidak ada petunjuk Allah SWT yang mengatakan bahwasanya “riba itu haram”.
الربا : الزيادة  والنمو
Riba: secara bahasa berarti bertambah dan berkembang, sedangkan dalam terminologi syar’i berarti tambahan nilai dari modal yang diambil pemilik modal/debitor kepada peminjam/kreditor atas tempo yang diberikan.
Menurut Ibnu Arabi, riba adalah sesuatu yang biasa dilakukan manusia  Arab  pada  masa Jahiliyah, seseorang berjual beli dengan orang lain dalam tempo waktu  tertentu, setelah datang temponya orang tersebut akan menagih ketika tagihan tidak bisa dilunasi  makaorang tersebut akan melipatgandakan pokok hartanya.
An-Nu'man bin Basyir mengatakan, bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda:
حرام فالوسيلة إليه مثله؛ لأن ما أفضى إلى الحرام حرام، كما أن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب. وقد ثبت في الصحيحين، عن النعمان بن بشير، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: "إن الحلال بين وإن الحرام بين، وبين ذلك أمور مشتبهات، فمن اتقى الشبهات استبرأ لدينه وعرضه، ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام، كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه (رواه البخارى ومسلم )

"Sesungguhnya halal itu sudah jelas dan haram juga sudah jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar. Karenanya, barangsiapa yang menjaga diri dari perkarasyuhbat, bersih agama dan kehormatannya. Sebalilnya barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara syuhbat maka ia akan jatuh ke dalam perkara haram, ^agaikan gembala yang memelihara ternaknya di sekiiar tempat terlarang, mungkin ternaknya terjerumus ke didalamnya."(H.R. Bufchari-Muslim).



1.3 Pola Pentahapan dan Asbabun Nuzul
Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan dalam empat tahap.

Ar- Rum, 30: 39

وما اْتيتم من ربا ليربوا في اموال النّاس فلا يربوا عند اللهوما اْتيتم من زكوة تريدون وجه الله فاْولئك هم المضعفون *

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya), [39].”

Dalam tahap ini, pinjaman riba yang zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan, sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarub kepada Allah SWT, ditolak dan tidak tidak diterima. Dan riba yang dimaksud untuk menambah harta itu, sebenarnya tidaklah menambah di sisi Allah. Ayat ini turun sebelum hijrah (Makiyah), belum menyatakan haramnya riba, tetapi sekedar menyatakan bahwa Allah tidak menyukainya.
            An-Nisa’, 4 : 160 – 161

فبظلم مّن الّذين هادوا حرّمنا عليهم طيبت أحلّت لهم وبصدّهم عن سبيل الله كثيراَ* واحذهم الرّبوا وقد نهوا عنه واكلهم اموال النّاس بالباطل واعتدنا للكافرين منهم عذابا اّليماَ*

“Maka, disebabkan kezalaiman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dilalakan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah;[160]. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih;[161].”

Ayat ini turun dalam konteks waktu itu, orang-orang Yahudi biasa melakukan perbuatan dosa besar. Mereka selalu menyalahi aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Barang-barang yang telah dihalakan oleh Allah mereka haramkan, dan apa yang diharamkan oleh Allah mereka lakukan. Sebagian dari barang yang diharamkan oleh Allah yang mereka banyak budayakan adalah riba. Hanya orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah secara jujur dari kalangan meraka – diantaranya Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Sa’yah, Asad bin Sa’yah dan Asad bin Usaid – saja yang tidak mau melakukan kezaliman. Sehubungan dengan itu, Allah SWT menurunkan ayat 161 sebagai khabar tentang perbuatan mereka dan sebagai kabar gembira bagi mereka yang beriman untuk mendapatkan pahala yang besar dari sisi Allah SWT. (HR. Ibn Abi Hatim dari Muhammad b. Abdillah b. Yazid al-Muqri dari Yahya b. Uyainah dari Amr b. Ash).

Dalam tahap ini, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Dalam ayat ini diceritakan bahwa orang-orang yahudi dilarang melakukan riba, tetapi larangan itu dilanggar mereka sehingga mereka dimurkai Allah SWT dan diharamkan kepada mereka sesuatu yang telah pernah dihalalkan kepada mereka sebagai akibat pelanggaran yang mereka lakukan. Ayat ini turun sesudah Hijrah (Madaniyah). Dan ayat ini belum secara jelas ditujukan kepada kaum muslimin, tetapi secara sindiran telah menunjukan bahwa, kaum muslimin pun jika berbuat demikian akan mendapat kutuk sebagaimana yang didapat orang-orang yahudi.

C.      Ali Imron, 3: 130

يايها الّذين امنوا لا تاءكلوا الربوا اضعافا مضاعفة واتّقوا الله لعّلكم تفلحون *

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntunga;[130].”

Dalam tahap ini, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahawa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Ayat ini turun pada tahun ke tiga hijrah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa criteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari parktik pembungaan uang pada saat itu.

Pada waktu itu terdapat orang-orang yang melakukan akad jual beli dengan jangka waktu tertentu (kredit). Apabila waktu pembayaran telah tiba, mereka ingkar, tidak mau membayar, sehingga dengan demikian bertambah besarlah bunganya. Dengan menambah bunga berarti mereka bertambah pula jangka waktu untuk membayar. Sehubungan dengan kebiasaan seperti ini Allah menurunkan ayat ini, yang pada intinya memberi peringatan dan larangan atas praktik jual beli yang demikian itu. (HR. Faryabi dari Mujahid). Dalam riwayat lain diceritakan bahwa, di zaman Jahiliyah Tsaqif berhutang kepada Bani Nadhir, pada waktu yang telah dijanjikan untuk membayar hutang itu, Tsaqif berkata: “Kami akan membayar bunganya dan kami meminta agar waktu pembayaranya ditangguhkan. Sehubungan dengan hal itu Allah SWT menurnkan ayat 130 sebagai peringatan, larangan dan ancaman bagi mereka yang membiasakan berbuat riba. (HR. Faryabi dari Atha’).

D.  Al-Baqarah : 278 – 279

يايها الّذين امنوا اتقوا الله وذرا ما بقي من الرّبواان كنتم مؤمنين * فان لم تفعلوا فاْذنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لا تظلمون ولا تظلمون *

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.{278}. Maka jika kamu tidak mengerjakanya (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (dirugikan);[279].”[10]

Pada tahap akhir ini, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ayat 278 dan 279 diturunkan sehubungan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada gubernur Mekah Itab bin Usaid setelah terbunya Kota Mekah tentang utang-utang yang dilakukan dengan riba sebelum turunya ayat yang mengharamkan riba. Bani Mughirah menghutangkan harta kekayaan kepada Bani Amr bin Auf dari penduduk Tsaqif. Bani Mughirah berkata kepada Itab bin Usaid: “Kami adalah segolongan yang paling menderita lantaran dihapuskanya riba. Kami ditagih riba oleh orang lain, sedangkan kami tidak mau menerima riba lagi karena taat kepada peraturan Allah AWT yang menghapu riba”. Bani Amr bin Auf berkata: “Kami minta penyelesaian tagihan riba kami”. Oleh sebab itu Gubernur Mekah Itab bin Usaid mengirim surat kepada Rasulullah SAW yang isinya melaporkan kejadian tersebut. Surat ini dijawab oleh Rasulullah SAW setelah turunya ayat 278 dan 279 ini. Didalam ayat ini ditegaskan tentang perintah untuk meninggalkan riba.

1.4 RIBA DALAM HADITS

Dari Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) & memberikan riba.” (HR.Muslim
Dari Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. mengutuk orang yang memakan (mengambil) riba, wakilnya, penulisnya, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim, Ibn Majah).

Yang dimaksud dengan wakilnya ialah orang yang memberikan riba itu, karena sesungguhnya tidak akan terjadi riba itu kecuali dari dia, maka dia juga termasuk berdosa; sedangkan dosanya penulis dan 2 orang saksinya adalah karena bantuan mereka terhadap perbuatan yang diharamkan tersebut.

1.5 SEJARAH RIBA

Ayat-ayat Al-Quran, di atas membicarakan riba sesuai dengan periode larangan, sampai akhirnya datang larangan tegas pada akhir periode penetapan hokum riba. Riba pada agama-agama samawi telah dinyatakan haram. Tersebut dalam Perjanjian Lama Kitab keluaran ayat 25 pasal 22: “Bila kamu menghutangi seseorang di antara  warga bangsamu uang muka maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang”. Namun orang Yahudi beranggapan bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan di kalangan sesama Yahudi. Tetapi tidak terlarang dilakukan terhadap non Yahudi. Hal ini tersebut dalam kitab Ulangan ayat 20 pasal 23.

Reputasi bangsa Yahudi dalam bisnis pembungaan uang memang sangat terkenal. Pada masa kini pun di AS, praktek pembungaan uang oleh kelompok etnis Yahudi, di luar lembaga perbankan, koperasi atau credit union, masih menjadi fenomena umum. Di negeri kita, kegiatan ini dikenal sebagai tukang kredit.

Tetapi Islam mengangap bahwa ketetapan-ketetapan yang mengharamkan riba yang hanya berlaku pada golongan tertentu, sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Lama merupakan ketetapan yang telah dipalsukan. Sebab riba diharamkan bagi siapa saja dan terhadap siapa saja, karena hal itu merupakan suatu yang zalim dan kezaliman, sehingga diharamkan kepada semua tanpa pandang bulu. Islam tidak membedakan manusia karena bangsanya atau warna kulitnya atau keturunanya. Karena manusia adalah hamba Allah. Tetapi umat Yahudi menganggap ada perbedaan besar antara umat yahudi dengan umat yang lain, sebagaimana mereka katakana dalam al-Qur’an; “Kami adalah putra-putra Allah dan kekasih-Nya”.

Berbeda dengan umat Yahudi, umat Nasrani dalam hal riba, secara tegas mengharamkan riba bagi semua orang, tanpa membedakan kalangan Nasrani maupun non-Nasrani. Tokoh-tokoh gereja sepakat berpegang pada ketetapan-ketetapan agama yang ada pada mereka. “Jika kamu menghutangi kepada orang yang engkau harapkan imbalanya, maka dimana sebenarnya kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya. Karena pahala kamu akan sangat banyak.”

Ketetapan semacam ini menuntunkan pengharaman riba dengan tegas dalam agama nasrani. Namun kaum periba berusaha untuk menghalalkan beberapa keuntungan yang tidak dibenarkan oleh pihak geraja karena pengaruh ekonomi yahudi. Akhirnya muncul anggapan dan pendapat, bahwa keuntungan yang diberikan sebagai imbalan administrative dan organisasi dibenarkan. Akhirnya banyak orang mengambil fatwa ini sehingga berani menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah.

BAB III
KESIMPULAN

Riba secara bahasa bermakna :  Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prisip muamalah dalam Islam.
Dan riba merupakan kebiasaan orang jahiliah pada jaman jahiliah sehingga allah menjadikan hukum riba dari mulai tidak baik untuk bersosial hingga sampai mengharamkanya, ayat al-qur’an dengan demikian sehingga orang yahudi melakukan kesempatan untuk mempecah belah umat islam dengan riba karena larangan riba tersebut hingga saat ini. Mulai dari bank hingga yang lainya seperti pinjaman uang dan pergadain dengan demikian umat islam harus bisa lebih teliti tentang permasalahan riba saat ini.

Daptar Pustaka
Al-Qur’anul Karim
Al- Hadits
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan
Umat. Mizan. Bandung.
An-Nisabury. Asbab an-Nuzul. (Beirut: Dar al-Fikr) hal. 58-59.Jalalaini, Tafsir Al Qur’an AL Karim, Jilid 1 hlm. 295.




Komentar

Sulyadi mengatakan…
gmn buatnya iniii

Postingan populer dari blog ini

PENGESAHAN, PENGUNDANGAN, PENYEBAR LUASAN PERUNDANG UNDANGAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Pengsahan-Pengundangan dan Daya Ikat Perundang-Undangan      A.  Pengesahan Setelah suatu rancangan undang-undang itu dibahas, tahap selanjutnya adalah pengesahan. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan disebutkan: Bagian Kesatu: Pengesahan dan Pengundangan Undang-Undang Pasal 2 1)  Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, disampaikan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. 2)  Penyampaian rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Pasal 3 Menteri Sekretaris Negara melakukan penyiapan naskah rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) guna disahkan oleh Presiden. Pasal 4 1)  Nask...

MATERI MUATAN, FUNGSU DAN TUJUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A.  Materi muatan Berbagai jenis Peraturan Perundang-Undangan Istilah muatan Undang-undang ini pertama kali diperkenalkan oleh A. Hamid Attamimi, dalam Majalah hukum dan pembangunan No. 3 Tahun ke-IX, Mei 1979, sebagai terjemahan dari ‘het eigenaardig onderwerp der wet’. A. Hamid Attamimi berpendapat bahwa materi muatan Undang-Undang Indonesia merupakan hal yang penting untuk kita teliti dan kita cari, oleh karena pembentukan Undang-Undang suatu Negara bergantung pada cita Negara dan teori bernegara yang dianutnya, pada kedaulatan dan pembagian kekuasaan dalam negaranya pada sistem pemerintahan negara yang diselenggarakannya. Untuk menemukan materi  muatan Undang-Undang, dapat digunakan tiga pedoman, yaitu: a)  Dari ketentuan batang tubuh UUD 1945 Apabila dilihat dalam batang tubuh UUD 45 maka dapat ditemukan 18 masalah yang harus diatur, ditetapkan, atau dilaksanakna berdasarkan Undang-Undang. Dari kedelapan belas pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi ti...

PERUBAHAN, PENCABUTAN DAN PEMBATALAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Perubahan Perundang-undangan   Perubahan mendasar pasca empat kali amandemen secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut: 1.  Ditegaskannya demokrasi konstitusional dan negara hukum; 2.  Kesetaraanantarlembaganegaradengansistempemisahankekuasaandan check and balances; 3.  Kesetaraanantarlembaganegaradengansistempemisahankekuasaandan check and balances; 4.  Pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari tangan Presiden ke tangan DPR; 5.  Sistem pemerintahan presidensiil dengan pemilihan Presiden langsung oleh rakyat; 6.  Lembaga perwakilan yang unik terdiri DPR dan DPD, serta MPR yang terdiri dari anggota DPR dan Anggota DPD; 7.  Kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilah yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi; 8.  Peran...