Langsung ke konten utama

FUNGSI PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PEBENTUKAN HUKUM



1)       Fungsi Internal
Fungsi Internal adalah fungsi pengaturan perundang-undangan sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-undangan) terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan fungsi penciptaan hukum, fungsi pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralisme hukum, fungsi kepastian hukum. Secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi:

a) Fungsi penciptaan hukum
Penciptaan hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku umum  dilakukan atau terjadi melalui  beberapa cara yaitu melalui putusan hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berlaku secara umum. Secara tidak langsung, hukum dapat pula terbentuk melalui ajaran-ajaran hukum (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam pembentukan hukum.

b) Fungsi pembaharuan hukum
Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen yang efektif dalam pembaharuan hukum (law reform) dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan, sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncakan. Peraturan perundang-undangan tidak hanya melakukan fungi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan (yang telah ada). Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan Sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi. Hukum kebiasaan atau hukum adat. Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda. Tidak pula kalah pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional  (dibuat setelah kemerdekaan) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di bidang hukum kebiasaan atau hukum adat. Peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti hukum kebiasaan atau hukum adat yang tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan baru. Pemanfaat peraturan perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan hukum kebiasaan atau hukum adat sangat bermanfaat, karena dalam hal-hal tertentu kedua hukum yang disebut belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan.

c) Fungsi integrasi pluralisme sistem hukum
Pada saat ini masih berlaku berbagai sistem hukum (empat macam sistem hukum), yaitu: “sistem hukum kontinental (Barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama (khususnya lslam) dan sistem hukum nasional”. Pluralisme sistem hukum yang berlaku hingga saat ini merupakan salah satu warisan kolonial yang harus ditata kembali. Penataan kembali berbagai sistem hukum tersebut tidaklah dimaksudkan meniadakan berbagai sistem hukum – terutama sistem hukum yang hidup sebagai satu kenyataan yang dianut dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat. Pembangunan sistem hukum nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain. Mengenai pluralisme kaidah hukum sepenuhnya bergantung pada kebutuhan hukum masyarakat. Kaidah hukum dapat berbeda antara berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.

d. Fungsi kepastian hukum
Kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupaken asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakan hukum (hendhaving, uitvoering). Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa peraturan perundang-undangan depat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dan pada hukum kebiasan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Namun, perlu diketahui, kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada bentuknya yang tertulis (geschreven, written).

2)  Fungsi Eksternal
Fungsi Eksterrnal ialah keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosial hukum, yang meliputi fungsi perubahan, fungsi stabilisasi, fungsi kemudahan. Dengan demikian, fungsi ini dapat juga berlaku pada hukum-hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Bagi Indonesia, fungsi sosial ini akan lebih diperankan oleh peraturan perundang-undangan, karena berbagai pertimbangan yang sudah disebutkan di muka. Fungsi sosial ini dapat dibedakan:

1) Fungsi perubahan
Telah lama  di kalangan pendidikan hukum diperkenalkan fungsi perubahan ini yaitu hukum sebagai sarana pembaharuan (law as social engineering). Peraturan perundang-undangan diciptakan atau dibentuk  untuk mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Masyarakat “patrilineal” atau “matrilineal” dapat didorong menuju masyarakat “parental” melalui peraturan perundang-undangan perkawinan.

2) Fungsi stabilisasi
Peraturan perundang-undangan dapat pula berfungsi sebagai stabilisasi. Peraturan perundang-undangan di bidang pidana, di bidang ketertiban dan keamanan adalah kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjami stabilitas masyarakat. Kaidah stabilitas dapat pula mencakup kegiatan ekonomi, seperti pengaturan kerja, pengaturan tata cara perniagaan dan lain-lain. Demikian pula di lapangan pengawasan terhadap budaya luar, dapat pula berfungsi menstabilkan sistem soeial budaya yang telah ada.

3) Fungsi kemudahan
Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas). Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan insentif seperti keringanan pajak, penundaan pengenaan pajak, penyederhanaan tata cara perizinan, struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan kaidah-kaidah kemudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak selamanya, peraturan kemudahan akan serta merta membuahkan tujuan pemberian kemudahan. Dalam penanaman modal misalnya, selain kemudahan-kemudahan seperti disebutkan di atas diperlukan juga persyaratan lain seperti stabilitas politik, sarana dan prasarana ekonomi, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.

Uraian lain tentang fungsi peraturan perundang-undangan dikemukakan oleh ahli peraturan perundang-undangan kenamaan seperti Robert Baldwin & Martin Cave, yang mengemukakan bahwa peraturan perundang-undangan memiliki fungsi:
mencegah monopoli atau ketimpangan kepemilikan sumber daya, mengurangi dampak negatif dari suatu aktivitas di komunitas atau lingkungannya, membuka informasi bagi publik dan mendorong kesetaraan antar kelompok (mendorong perubahan institusi, atau affirmative action kepada kelompok marginal), mencegah kelangkaan sumber daya publik dari eksploitasi jangka pendek, menjamin pemerataan kesempatan dan sumber daya serta keadilan sosial, perluasan akses dan redistribusi sumber daya dan memperlancar koordinasi dan perencanaan dalam sektor ekonomi.

C. Konsepsi Dasar :
1.  Norma-Norma Dalam Pembentuk Perundang-Undangan
Apabila suatu norma hukum itu dilihat dari segi alamat yang dituju, atau siapa norma hukum itu ditunjukan atau diperuntukan, dapat dibedakan antara norma hukum umum dan norma hukum individual, yang biasa disebut dengan subyek hokum. Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk orang banyak, umum, dan tidak tertentu. ‘Umum’ di sini dapat berarti bahwa suatu peraturan itu ditunjukan untuk semua orang atau semua warganegara, sedangkan norma hukum individual adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan pada seseorang, beberapa orang atau banyak orang tertentu.

2. Norma Hukum Abstrak dan Norma Hukum Konkrit
Norma hukum abstrak adalah suatu norma hukum yang melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti konkrit. Sedangkan norma hukum konkrit adalah suatu norma hukum yang melihat perbuatan seseorang itu secara lebih nyata (konkrit)
Dari sifat-sifat norma hukum yan umum-individul dan norma hukum abstrak-konkrit, terdapat empat paduan kombinasi dari norma-norma tersebut, yaitu:
1) Norma hukum umum-abstrak, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk umum dan perbuatannya masih bersifat abstrak.
2) Norma hukum umum-konkrit, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk umum dan perbuatannya sudah tertentu.
3) Norma hukum individual-abstrak, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat abstrak.
4) Norma hukum individual-konkrit, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk seseorang atau seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat konkrit.
5) Norma Hukum yang Terus-Menerus dan Norma Hukum yang Sekali-Selesai
6) Norma hukum yang berlaku terus-menerus adalah norma hukum yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, hingga peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan baru. Sedangkan norma hukum yang berlaku sekali-selesai adalah norma hukum yang berlakunya hanya satu kali saja dan setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja, sehingga dengan adanya penetapan itu norma hukum selesai.
7) Norma Hukum Tunggal dan Norma hukum Berpasangan.
Norma hukum ini hanya merupakan suatu suruhan tentang bagaimana seseorang bertindak atau bertingkah laku sebagaimana mestinya. Adapun norma hukum berpasangan itu terbagi 2, yaitu :
a) Norma hukum primer, berisi tentang aturan atau patokan bagaimana cara seseorang berperilaku di dalam masyarakat.
b) Norma hukum sekunder, berisi tentang cara penanggulangannya apabila norma hukum primer tidak terpenuhi. Norma hukum sekunder ini memberikan pedoman untuk para penegak hukum dalam bertidak apabila norma hukum primer tidak dipatuhi. Norma hukum sekunder ini juga mengandung sanksi.
c) Norma Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan
d) Peraturan perundang-undangan mengandung tiga unsur, yaitu: Norma Hukum, Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa perintah, larangan, pengizinan, pembebasan.
e) Norma berlaku ke luar, Riuter berpendapat bahwa, di dalam peraturan perundangan-undangan terdapat tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka yang tidak termasuk, dalam organisasi pemerintah. Norma hanya ditunjukan kepada rakyat dan pemerintah, hubungan antar sesamanya, maupun antar rakyat dan pemerintah. Norma yang mengatur bagian-bagian organisasi pemerintah dianggap bukan norma yang sebenarnya, dan hanya dianggap norma organisasi. Oleh karena itu, norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu disebut “berlaku ke luar”.
f) Dalam hal ini terdapat pembedaan antara norma yang umum (algemeen) dan yang individual (individueel), hal ini dilihat dari adressat (alamat) yang dituju, yaitu ditunjukan kepada “setiap orang” atau kepada “orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak dan yang konkrit jika dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu atau mengatur peristiwa-peristiwa yang tidak tertentu.

2.  Norma Furdmental Negara
Di dalam sistem Hukum Indonesia, terdapat satu sistem norma yang di sebut “subsistem norma hukum Indonesia” menurut penjelasan UUD 1945, dalam subsistem norma hukum ini pancasila ditempatkan dalam kedudukan norma tertinggi negara, apabila mengikuti teori bangunan jenjang tata hukum Hans Nawiansky, maka norma tertinggi bagi subsistem kenegaraan itu disebut norma fundamental negara.
Norma Fundamental Negara (Staatsfundamental norm dalam bahasa Jerman) adalah kedudukan sebagai kaidah negara yang fundamental. Teori tentang staatsfundamentalnorm ini dikembangkan oleh Hans Nawiasky, seorang ahli hukum berkebangsaan Jerman. Hans Nawiansky menyempurnakan teori yang dikembangkan oleh gurunya, Hans Kelsen. Hans Kelsen mengembangkan teori Hirearki Norma Hukum (stufentheorie Kelsen) bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirearki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipothesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm)
Hans Nawinsky mengembangkan teori tersebut dan membuat Tata Susunan Norma Hukum Negara dalam empat tingkatan:
1) Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
2) Staatsgrundgezets (Aturan Dasar/Pokok Negara)
3) Formell Gezets (UU Formal)
4) Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan otonomi)

Pembukaan UUD 1945 sebagai suatu Norma Fundamental Negara, yang menurut istilah Notonagoro merupakan Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara, termasuk norma pengubahnya. Hakikat hukum suatuStaatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.
Hubungan antara norma fundamental negara, Pancasila dengan aturan dasar negara, yaitu undang-undang Dasar 1945 dapat ditemukan pada penjelasan UUD 1945 (Sebelum di Amandemen), yaitu penjelasan umum Angka II sebagai berikut : ”Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan di dalam pasal-pasalnya. Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara baik hukum dasar yang tertulis (UUD) maupun hukum dasar yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran didalam pasal-pasalnya.
Pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 :
1) Negara persatuan, yaitu negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia negara yang mengatasi paham golongan dan perseorangan, serta menghendaki persatuan segenap bangsa Indonesia.
2) Keadilan sosial, yaitu negara mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3) Kedaulatan rakyat, yaitu Negara berdasar atas paham kedaulatan rakyat, beardasar atas kerakyatan dan permusyawaratan / Perwakilan.
4) Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
5) Pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 tidak lain adalah pancaran dari nilai nilai dasar Pancasila. Nilai nilai Pancasila itu selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945.

3.  Azas Perundang-undangan :
a. Azaz Pebentukan Perundang-Undangan Yang baik
Dalam menyusun peraturan Perundang-undangan banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam pendapat itu mengarah pada substansi yang sama. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat ahli, kemudian penulis akan mengklasifikasikannya ke dalam dua bagian kelompok asas utama (1) asas materil atau prinsip-prinsip substantif; dan (2) asas formal atau prinsip-prinsip teknik pembentukan peraturan perundang-undangan.

Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekanto, memperkenalkan enam asas sebagai berikut:
1) Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);
2) Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
3) Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis);
4) Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatal-kan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori);
5) Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
6) Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).
Hampir sama dengan pendapat ahli sebelumnya Amiroedin Sjarief, mengajukan lima asas, sebagai berikut:
1) Asas tingkatan hirarkhi;
2) Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
3) Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyam-pingkan UU yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis);
4) Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut;
5) UU yang baru menyampingkan UU yang lama (lex posteriori derogat lex periori).
6) Pendapat yang lebih terperinci di kemukakan oleh I.C van der Vlies di mana asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu asas formal dan asas materil.

Asas formal mencakup:
a) Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke doelstelling);
b) Asas organ / lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
c) Asas perlu pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d) Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoorbaarheid);
e) Asas konsensus (het beginsel van consensus).

Sedangkan yang masuk asas materiil adalah sebagai berkut:
a) Asas terminologi dan sistimatika yang benar (het beginsel van duitdelijke terminologie en duitdelijke systematiek);
b) Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
c) Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechsgelijkheids beginsel);
d) Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
e) Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de individuale rechtsbedeling).
 A. Hamid. S. Attamimi, mengatakan jika dihubungkan pembagian atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai berikut :
Ø Asas–asas formal:
I. Asas tujuan yang jelas.
II. Asas perlunya pengaturan.
III. Asas organ / lembaga yang tepat.
IV. Asas materi muatan yang tepat.
V. Asas dapat dilaksanakan.
VI. Asas dapat dikenali.


Ø Asas–asas materiil:
VII. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara.
VIII. Asas sesuai dengan hukum dasar negara.
IX. Asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum.
X. Asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.

b. Azas Materi Muatan Perundang-Undangan
Apa yang dimaksudkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi muatan peraturan perundang-undangan tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut:
1) Asas pengayoman; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
2) Asas kemanusian; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
3) Asas kebangsaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
4) Asas kekeluargaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
5) Asas kenusantaraan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
6) Asas bhinneka tunggal ika; Bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
7) Asas keadilan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
8) Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
9) Asas ketertiban dan kepastian hukum; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
10)  Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.


c.  Azas Berlakunya Perundang-undangan
a) UU tidak berlaku surut
b) Lex posterior derogate legi priori (UU yang kemudian membantu terdahulu)
c) Lex superior derogate legi infriori
d) Lex specialis derogate legi generali
e) UU tidak dapat di ganggu gugat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGESAHAN, PENGUNDANGAN, PENYEBAR LUASAN PERUNDANG UNDANGAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Pengsahan-Pengundangan dan Daya Ikat Perundang-Undangan      A.  Pengesahan Setelah suatu rancangan undang-undang itu dibahas, tahap selanjutnya adalah pengesahan. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan disebutkan: Bagian Kesatu: Pengesahan dan Pengundangan Undang-Undang Pasal 2 1)  Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, disampaikan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. 2)  Penyampaian rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Pasal 3 Menteri Sekretaris Negara melakukan penyiapan naskah rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) guna disahkan oleh Presiden. Pasal 4 1)  Nask...

MATERI MUATAN, FUNGSU DAN TUJUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A.  Materi muatan Berbagai jenis Peraturan Perundang-Undangan Istilah muatan Undang-undang ini pertama kali diperkenalkan oleh A. Hamid Attamimi, dalam Majalah hukum dan pembangunan No. 3 Tahun ke-IX, Mei 1979, sebagai terjemahan dari ‘het eigenaardig onderwerp der wet’. A. Hamid Attamimi berpendapat bahwa materi muatan Undang-Undang Indonesia merupakan hal yang penting untuk kita teliti dan kita cari, oleh karena pembentukan Undang-Undang suatu Negara bergantung pada cita Negara dan teori bernegara yang dianutnya, pada kedaulatan dan pembagian kekuasaan dalam negaranya pada sistem pemerintahan negara yang diselenggarakannya. Untuk menemukan materi  muatan Undang-Undang, dapat digunakan tiga pedoman, yaitu: a)  Dari ketentuan batang tubuh UUD 1945 Apabila dilihat dalam batang tubuh UUD 45 maka dapat ditemukan 18 masalah yang harus diatur, ditetapkan, atau dilaksanakna berdasarkan Undang-Undang. Dari kedelapan belas pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi ti...

PERUBAHAN, PENCABUTAN DAN PEMBATALAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Perubahan Perundang-undangan   Perubahan mendasar pasca empat kali amandemen secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut: 1.  Ditegaskannya demokrasi konstitusional dan negara hukum; 2.  Kesetaraanantarlembaganegaradengansistempemisahankekuasaandan check and balances; 3.  Kesetaraanantarlembaganegaradengansistempemisahankekuasaandan check and balances; 4.  Pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari tangan Presiden ke tangan DPR; 5.  Sistem pemerintahan presidensiil dengan pemilihan Presiden langsung oleh rakyat; 6.  Lembaga perwakilan yang unik terdiri DPR dan DPD, serta MPR yang terdiri dari anggota DPR dan Anggota DPD; 7.  Kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilah yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi; 8.  Peran...