Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, kewenangan pembentukan undang-undang dirumuskan dalam Pasal 5 ayat ( 1) dan Pasal 20 ayat (1 ), dan Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal20 (I) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwaki1an Rakyat.
Pasal 21
Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan rancangan undang-undang.
Dari rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (I) UUD 1945 tersebut, sebenarnya baik Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kedudukan yang seimbang, dalam arti Presiden hanya dapat membentuk undang-undang jika ada persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, di samping itu anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat juga diberikan hak untuk mengajukan rancangan undang-undang sesuai Pasal 21 ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena dalam penyelenggaraan pemerintahan negara selama ini pembentukan undang-undang yang berasal dari usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat sangat jarang terjadi, sehingga pembentukan undangundang lebih banyak di1akukan oleh Presiden, maka dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ketiga rumusan dalam pasa1 tersebut diubah. Secara berturut-turut pasal-pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal20 (I) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3)(4)(5) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Dalam susunan ketatanegaraan Republik Indonesia pernah dikenal istilah lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Yang dimaksud lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara adalah lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara menurut UUD 1945. Lembaga yang disebut sebagai lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara dalam UUD 1945 adalah :
a) Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR)
b) Presiden
c) Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
d) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
e) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
f) Mahkamah Agung (MA)
Dari keenam lembaga negara tersebut, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. MPR mendistribusikan kekuasaannya kepada lima lembaga yang lain yang kedudukannya sejajar, yakni sebagai lembaga tinggi negara. Dalam susunan ketatanegaraan RI pada waktu itu, yang berperan sebagai lembaga legislatif adalah MPR dan DPR.
Adapun kewenagan-Kewenangan lembaga legislatif sebelum UUD 1945 di antaranya sebagai berikut:
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Sebelum amandemen UUD 1945, susunan anggota MPR terdiri dari anggota – anggota DPR ditambah utusan daerah, golongan politik, dan golongan karya (Pasal 1 ayat 1 UU No. 16 Tahun 1969). Terkait dengan kedudukannya sebagai Lembaga Tertinggi Negara, MPR diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Keanggotaan DPR sebagai lembaga tinggi negara terdiri dari golongan politik dan golongan karya yang pengisiannya melalui pemilihan dan pengangkatan. Wewenang DPR menurut UUD 1945 adalah :
Bersama presiden membentuk UU (Pasal 5 ayat 1 jo Pasal 20 ayat (1)) dengan kata lain bahwa DPR berwenang untuk memberikan persetujuan RUU yang diajukan presiden disamping mengajukan sendiri RUU tersebut. (Pasal 21 UUD 1945)
Bersama presiden menetapkan APBN (Pasal 23 ayat (1))
Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.
Lembaga Pembentukan perundang-undangan menurut UUD 1945 Pasca Amandemen
Dengan perubahan sebanyak empat kali yang dilakukan terhadap UUD 1945, maka secara langsung menimbulkan perubahan-perubahan yang mendasar didalamnya. Perubahan ini juga mempengaruhi struktur dan mekanisme struktural organ-organ negara Republik Indonesia. UUD 1945 hasil amandemen ini juga mengadopsi pokok-pokok pemikiran baru yang berbeda dengan UUD 1945 yang lama. Empat diantaranya adalahpenegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara komplementer;
a. pemisahan kekuasaan dan prinsip “check and balances”;
b. pemurnian sistem pemerintahan presidensial; dan
c. penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai Negara Hukum (Rechtstaat), bukan Negara Kekuasaan (Machtstaat), Indonesia tentunya mengakui prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam UUD, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam UUD, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang, termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Berdasarkan hal ini, hukum itu sendirilah yang menjadi penentu segalanya dengan prinsip nomokrasi dan doktrin “the Rule of Law, and not of man” yang mengindikasikan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi (supremacy of Law), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintah (equality before the law), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktek (due process of law).
Untuk mewujudkan cita hukum ini, maka pelaksanaannya harus dijamin dengan pembangunan dan penegakan prinsip demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Hal inilah yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Ketentuan ini sebelumnya tidak dinyatakan secara tegas dalam pasal-pasal UUD 1945 yang lama, melainkan hanya dalam bagian penjelasannya saja. Sementara itu, prinsip-prinsip kedaulatan rakyat terdapat juga dalam pembukaan dan Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakasanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Hal ini berarti bahwa tidak seperti dalam UUD 1945 yang lama, MPR dalam hal ini tidak lagi memiliki kekuasaan yang eksklusif sebagai satu-satunya instansi pelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat.
Dengan dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 ini, maka rakyat merupakan pemegang kekuasaan negara tertinggi dan kedaulatan rakyat ini ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip “check and balances”. Menurut pendapat saya, kedaulatan rakyat ini secara langsung diwujudnyatakan dalam Pasal 6A ayat (1) yang menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat” yang mengindikasikan bahwa rakyat tidak perlu lagi harus melalui MPR dalam memilih.
Hal ini tentu lebih baik untuk mengoptimalkan dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat yang dianut oleh negara Indonesia. Dalam UUD 1945 hasil amandemen ini, bukan berati bahwa akan mengindikasikan hilangnya pelaku yang selama berlakunya UUD 1945 sebelum perubahan menjadi addresatnya karena UUD 1945 hasil amandemen memberikan batasan bahwa kedaulan rakyat ini tetap harus dijalankan berdasarkan UUD. Artinya bahwa ada hal-hal dimana kedaulatan tersebut tetap harus diserahkan pelaksanaannya kepada badan atau lembaga maupun hal-hal yang langsung dapat dilaksanakan oleh rakyat. Jadi dalam hal ini, UUD 1945-lah yang dijadikan dasar rujukan pelaksanaan kedaulatan rakyat kepada rakyat itu sendiri dan atau kepada berbagai lembaga negata, bukan MPR. Menurut pendapat saya, dengan penyerahan mandat dari rakyat ketangan eksekutif ini tidak menyebabkan hilangnya kedaulatan rakyat karena secara politik, eksekutif tetap harus bertanggungjawab kepada rakyat. Namun demikian, MPR tetap merupakan rumah penjelmaan seluruh rakyat yang juga tetap memegang kekuasaan legislatif, hanya saja setelah dilakukan perubahan, MPR menjadi terdiri atas dua lembaga perwakilan yang sederajat yaitu DPR yang mencerminkan prinsip perwakilan politik (political representation) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representaton) dari yang tadinya terdiri atas tiga yaitu DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan.
Selain itu, dalam perubahan UUD 1945 ini juga diatur ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi yang diberi kewenangan untuk melakukan pengujian atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar seperti ditentukan dalam pasal 24 ayat (1) yang berarti mencerminkan dianutnya asas pemisahan kekuasaan dan prinsip ‘check and balances’ antara cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif. Namun demikian,menurut saya adanya perubahan-perubahan dalam UUD 1945 ini tidak menyebabkan bergesernya status MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Hal ini terlihat dari wewenang yang masih tetap dimiliki oleh MPR dalam Pasal 3 UUD 1945 setelah perubahan yaitu:
1) mengubah dan menetapkan UUD;
2) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3) memeberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD; serta
4) menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya.
Dari wewenang yang dimiliki oleh MPR tersebut, memang telah terjadi perubahan dimana MPR yang semula memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden menjadi terbatas pada wewenang melantik saja. Namun perlu diingat bahwa Presiden dan Wakil Presiden tetap baru dinyatakan sah mulai melaksanakan tugasnya apabila telah menandatangani surat pelantikan.
C. Kekuasaan Membentuk Perundang-Undangan.
Sebagai telaah sejarah perundang-undangan (wetshistorie), dapat dikemukakan bahwa sejak proklamasi 17 Agustus 1945, Republik Indonesia telah melewati 4 kali berlakunya Undang-Undang Dasar, yaitu: (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat; (3) Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia; dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diubah (diamendemen) dengan empat kali perubahan. UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak menjelaskan tentang pembentukan undang-undang dengan lengkap, melainkan hanya menegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR Mengenai proses pembentukan undang-undang hanya menyebutkan bahwa rancangan undang-undang yang tidak mendapat persetujuan DPR tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan berikutnya. Selain itu pada bagian lain, yaitu mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja, UUD 1945 menyatakan bahwa hal itu ditetapkan dengan undang-undang, dan apabila DPR tidak menyetujui yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu. (Pasal 23 ayat (1).
Konstitusi RIS (1950) yang terdiri dari 197 pasal dan UUDS (1950) yang terdiri dari 146 pasal mengatur tentang pembentukan undang-undang. Pasal 127 – Pasal 143 Konstitusi RIS memuat Bagian II tentang “Perundang-undangan” yang mengatur tentang kekuasaan perundang-undangan Bagian II UUDS (1950) yang terdiri dari 146 pasal juga memuat federal. Pengaturan tentang “Perundang-undangan” (Pasal 89 – Pasal 100). UUD 1945 mengalami empat kali perubahan fundamental dalam waktu relatif sangat pendek. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diberi wewenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar [Pasal 3 ayat (1)], sebagai perwujudan keinginan rakyat untuk melakukan reformasi di bidang hukum. Perubahan UUD 1945 sangat mempengaruhi mekanisme penyelenggaraan negara dan urusan pemerintahan, sehingga berbagai lembaga negara diwajibkan untuk melakukan pembenahan yang menyangkut fungsinya untuk disesuaikan dengan perubahan tersebut. Berkaitan dengan pembentukan undang-undang yang melibatkan fungsi DPR dan Presiden, terdapat berbagai landasan pengaturan baru dalam UUD 1945 (setelah perubahan) antara lain sebagai berikut:
Beralihnya kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR (Pasal 20 ayat (1) walaupun setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2); kewajiban Presiden mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. (Pasal 20 ayat (4);sahnya undang-undang setelah lewat waktu 30 hari sejak persetujuan bersama atas rancangan undang-undang dalam hal RUU tersebut tidak disahkan oleh Presiden (Pasal20 ayat 5);kewajiban mengundangkan undang-undang (Pasal 20 ayat (5). adanya undang-undang organik yang mengatur tentang tata cara pembentukan undang-undang (Pasal 22A); dan tugas pengundangan peraturan perundang-undangan diserahkan kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. (Pasal 48).
Komentar