A. Tata Urutan Perundang-Undangan
Menurut TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 Tata Urutan Perundang-Undangan Nasional adalah sebagai berikut
a) UUD 1945
b) Ketetapan MPR (TAP MPR)
c) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (UU/Perpu)
d) Peraturan Pemerintah (PP)
e) Keputusa Presiden (Kepres)
Peraturan-peraturan pelaksana lainnya:
1) Peraturan menteri
2) Instruksi menteri
3) Dan lain-lain
TAP MPRS tersebut mempunyai banyak kerancuan sehingga tidak dapat lagi dijadikan landasan penyusunan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, peraturan tersebut diganti dengan TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yaitu sebagai berikut:
a. UUD 1945
b. TAP MPR RI
c. Undang-undang
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
e. Peraturan Pemerintah
f. Keputusan Presiden
g. Peraturan Daerah
Namun peraturan tersebut diubah lagi dengan UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adapun peraturan dalam undang-undang no 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. UUD 1945
b. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan Daerah
Pada tahun 2011 lahir lagi peraturan perundang-undangan yang mengatur Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Nasional yaitu UU No. 12 tahun 2011. Berdasarkan UU ini maka hierarki Peraturan Perundang-undangan RI adalah sebagai berikut:
a. UUD 1945
b. TAP MPR
c. UU/Perppu
d. Peraturan Pemerintah
e. Perpres
f. Perda Provinsi
g. Perda Kabupaten/Kota.
B. Kedudukan Perundang-undangan Dalam UUD 1945 Pasca Amandemen
Dengan perubahan sebanyak empat kali yang dilakukan terhadap UUD 1945, maka secara langsung menimbulkan perubahan-perubahan yang mendasar didalamnya. Perubahan ini juga mempengaruhi struktur dan mekanisme struktural organ-organ negara Republik Indonesia. UUD 1945 hasil amandemen ini juga mengadopsi pokok-pokok pemikiran baru yang berbeda dengan UUD 1945 yang lama. Empat diantaranya adalah:
a) penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara komplementer;
b) pemisahan kekuasaan dan prinsip “check and balances”;
c) pemurnian sistem pemerintahan presidensial; dan
d) penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai Negara Hukum (Rechtstaat), bukan Negara Kekuasaan (Machtstaat), Indonesia tentunya mengakui prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam UUD, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam UUD, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang, termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Berdasarkan hal ini, hukum itu sendirilah yang menjadi penentu segalanya dengan prinsip nomokrasi dan doktrin “the Rule of Law, and not of man” yang mengindikasikan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi (supremacy of Law), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintah (equality before the law), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktek (due process of law).
Untuk mewujudkan cita hukum ini, maka pelaksanaannya harus dijamin dengan pembangunan dan penegakan prinsip demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Hal inilah yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Ketentuan ini sebelumnya tidak dinyatakan secara tegas dalam pasal-pasal UUD 1945 yang lama, melainkan hanya dalam bagian penjelasannya saja. Sementara itu, prinsip-prinsip kedaulatan rakyat terdapat juga dalam pembukaan dan Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakasanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini berarti bahwa tidak seperti dalam UUD 1945 yang lama, MPR dalam hal ini tidak lagi memiliki kekuasaan yang eksklusif sebagai satu-satunya instansi pelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat.
1. Presiden, MPR, dan DPR
Dengan dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 ini, maka rakyat merupakan pemegang kekuasaan negara tertinggi dan kedaulatan rakyat ini ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip “check and balances”. Menurut pendapat saya, kedaulatan rakyat ini secara langsung diwujudnyatakan dalam Pasal 6A ayat (1) yang menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat” yang mengindikasikan bahwa rakyat tidak perlu lagi harus melalui MPR dalam memilih. Hal ini tentu lebih baik untuk mengoptimalkan dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat yang dianut oleh negara Indonesia. Dalam UUD 1945 hasil amandemen ini, bukan berati bahwa akan mengindikasikan hilangnya pelaku yang selama berlakunya UUD 1945 sebelum perubahan menjadi addresatnya karena UUD 1945 hasil amandemen memberikan batasan bahwa kedaulan rakyat ini tetap harus dijalankan berdasarkan UUD. Artinya bahwa ada hal-hal dimana kedaulatan tersebut tetap harus diserahkan pelaksanaannya kepada badan atau lembaga maupun hal-hal yang langsung dapat dilaksanakan oleh rakyat. Jadi dalam hal ini, UUD 1945-lah yang dijadikan dasar rujukan pelaksanaan kedaulatan rakyat kepada rakyat itu sendiri dan atau kepada berbagai lembaga negata, bukan MPR. Menurut pendapat saya, dengan penyerahan mandat dari rakyat ketangan eksekutif ini tidak menyebabkan hilangnya kedaulatan rakyat karena secara politik, eksekutif tetap harus bertanggungjawab kepada rakyat. Namun demikian, MPR tetap merupakan rumah penjelmaan seluruh rakyat yang juga tetap memegang kekuasaan legislatif, hanya saja setelah dilakukan perubahan, MPR menjadi terdiri atas dua lembaga perwakilan yang sederajat yaitu DPR yang mencerminkan prinsip perwakilan politik (political representation) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representaton) dari yang tadinya terdiri atas tiga yaitu DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan.
Selain itu, dalam perubahan UUD 1945 ini juga diatur ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi yang diberi kewenangan untuk melakukan pengujian atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar seperti ditentukan dalam pasal 24 ayat (1) yang berarti mencerminkan dianutnya asas pemisahan kekuasaan dan prinsip ‘check and balances’ antara cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif. Namun demikian,menurut saya adanya perubahan-perubahan dalam UUD 1945 ini tidak menyebabkan bergesernya status MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Hal ini terlihat dari wewenang yang masih tetap dimiliki oleh MPR dalam Pasal 3 UUD 1945 setelah perubahan yaitu:
1) mengubah dan menetapkan UUD;
2) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3) memeberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD; serta
4) menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya.
Dari rangkaian gambar tersebut, terlihat bahwa rakyat setelah adanya perubahan langsung memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dipercayainya. Kedudukan Menteri dalam hal ini adalah tetap sebagai pembantu Presiden dalam menjalankan kabinetnya, dan menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dan karena bertanggung-jawab kepada presiden, bukan parlemen, maka kedudukannya tidak tergantung parlemen. Disamping itu, para Menteri itulah yang pada hakikatnya merupakan pemimpin pemerintahan dalam bidangnya masing-masing, karena itu kedudukannya sangat penting dalam roda pemerintahan. Sehubungan dengan adanya mandat langsung dari rakyat dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden posisi presiden dalam hal ini memang diakui cukup kuat sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintahan. Namun demikian, hal ini bukan berarti memberikan kesempatan timbulnya kekuasaan yang tidak terbatas karena UUD 1945 hasil perubahan tetap memberikan pembatasan jabatan Presiden paling lama dua periode yang masing-masing adalah lima tahun.
Disamping itu, beberapa badan atau lembaga negara dalam lingkungan cabang kekuasaan eksekutif ditentukan pula oleh independensinya dalam menjalankan tugas utamanya sehingga posisinya tidak berada didalam gambar karena dalam menjalankan tugas utamanya tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan politik pribadi presiden seperti Bank Indonesia sebagai bank sentral, Kepolisian Negara dan Kejaksaan Agung sebagai aparatur penegak hukum. Untuk menjamin hal tersebut, maka pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur Bank Indonesia, Kepala Kepolisian Negara, Jaksa Agung, dan Panglima Tentara Nasional Indonesia hanya dapat dilakukan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Pemberhentian para pejabat tinggi pemerintahan tersebut tanpa didahului dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat hanya dapat dilakukan oleh Presiden apabila yang bersangkutan terbukti bersalah dan karena itu dihukum berdasarkan vonis pengadilan yang bersifat tetap karena melakukan tindak pidana menurut tata cara yang diatur dengan Undang-Undang.
Bila melihat dalam perubahan pasal 5 ayat (1) juncto pasal 20 ayat (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang dipertegas lagi dengan tambahan pasal 20 ayat (2) perubahan pertama UUD 1945, UUD 1945 hasil perubahan ini belum sepenuhnya mewujudkan adanya pemisahan kekuasaan (seperation of power) sebagaimana telah disebutkan dimuka. Artinya bahwa pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif memang belum sepenuhnya tercapai. Saya setuju dengan pendapat bahwa kekuasaan legislatif yang semula utamanya dipegang oleh presiden dengan persetujuan DPR telah dialihkan menjadi dipegang oleh DPR. Namun adanya frasa “dengan persetujuan bersama” dalam pasal 20 ayat (2) perubahan pertama UUD 1945 ini memberikan makna agar didalam membentuk undang-undang, DPR harus melaksanakannya dengan persetujuan atau bebarengan dengan Presiden sehingga mengimplikasikan bahwa undang-undang tersebut baru dapat terbentuk bila kewenangan tersebut dilaksanakan secara bersama-sama baik oleh DPR maupun Presiden.
C. Pengertian Berbagai Jenis Perundang-Undangan.
Pengertian Peraturan Perundang-undangan adalah suatu aturan yang bentuknya tertulis dan dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum (berlaku secara umum tanpa terkecuali). Sedangkan Pengertian Peraturan perundang-undangan nasional adalah aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga negara yang mwmiliki wewenang, dan peraturan ini dibuat untuk dipatuhi oleh seluruh warga negara dan berskala nasional. Jadi peraturan ini berlaku untuk seluruh warga negara atau rayat Indonesia tanpa terkecuali. Semua rakyat Indonesia wajib mentaati peraturan yang telah dibuat, bila tidak atau melanggar maka berhak untuk dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Biasanya peraturan ini berisi aturan dalam berbagai bidang kehidupan.
Semua peraturan perundang-undangan mempunyai sifat dan ciri ciri sebagai berikut :
a. Wujud dari peraturan perundang-undangan adalah keputusan tertulis.
b. Peraturan perundang-undangan ini dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang memiliki wewenang untuk membuat peraturan tersebut, baik uamg berada di tingkat darah maupun yang berada di tingkat daerah.
c. Peraturan perundang-undangan isinya aturan pola tingkah laku
d. Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum dan menyeluruh
D. Bentuk-Bentuk Perundang-Undangan.
Menurut UU No. 10 tahun 2004 jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945
b) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
c) Peraturan Pemerintah
d) Peraturan Presiden
e) Peraturan Daerah.
f) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
g) Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur.
h) Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
i) Kabupaten atau Kota bersama Bupati atau Walikota
j) Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
Selain jenis perundang-undangan tersebut di atas , sesuai penjelasan pasal 7 ayat (4) yakni peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh :
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
2) Mahkamah Agung
3) Mahkamah Konstitusi
4) Badan Pemeriksa Keuangan
5) Gubernur Bank Indonesia
6) Menteri dll
Peraturan Perundangan Tingkat Pusat :
Dalam pembetukannya harus mendapat persetujuan DPR (pasal 20 ayat (2) amandemen UUD 1945 apabila Rancangan datang dari Pemerintah ( pasal 5 ayat (1) amandemen UUD 1945 namun DPR juga berhak membentuk UU ( pasal 20 ayat (1) amandemen UUD 1945 dengan mendapat persetujuan Presiden.
· Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah
· Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah terdiri dari peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
· Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD
· Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/ kota dan tugas pembantuan
Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan cirri khas masing-masing daerah. Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/ atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah.
Komentar