PEMBUATAN BAGIAN DALAM PERUNDANG UNDANGAN
Batang
tubuh atau bagian dalam Peraturan PerUndang - Undangan memuat semua
substansi Peraturan PerUndang - Undangan yang dirumuskan dalam
pasal-pasal.
Pada umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:
1. Ketentuan Umum.
2. Materi Pokok yang Diatur.
3. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan).
4. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan).
5. Ketentuan Penutup.
Dalam
pengelompokkan substansi sedapat mungkin dihindari adanya bab ketentuan
lain atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakan untuk masuk
ke dalam bab yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab tersendiri dengan
judul yang sesuai dengan materi yang diatur. Substansi yang berupa
sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma
tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang
memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan.
Jika
norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat
lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan
dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian(pasal) tersebut. Dengan
demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi
pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.
Sanksi
administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran,
pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya
paksa polisional. Saksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti
kerugian.
Pengelompokkan materi Peraturan perundang-undangan dapat disusun secara sisternatis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf.
Jika
Peraturan perundang-undangan mempunyai materi yang ruang lingkupya
sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal-pasal tersebut dapat
dikelompokkan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian,
dan paragraf.
Pengelompokkan materi dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi.
Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut:
1) bab dengan pasal-pasal tanpa bagian dan paragraf;
2) bab dengan bagian dan pasal-pasal tanpa paragraf; atau
3) bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal-pasal.
Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
BUKU KETIGA KUHPdt TENTENG PERIKATAN
Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
KETENTUAN UMUM
Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul.
Huruf
awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian
ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang
tidak terletak pada awal frase.
Contoh:
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pasal
merupakan satuan aturan dalam Peraturan PerUndang - Undangan yang
memuat satu norma, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara
singkat, jelas, dan lugas.
Materi
Peraturan perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal
yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang
masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi yang menjadi
isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab.
Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
Pasal 34
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan
kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat.
Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab di antara tanda baca kurung tanpa diakhiri tanda baca titik.
Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh.
Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil.
Contoh:
Pasal 8
1) Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk 1 (satu) kelas barang.
2) Permintaan
pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan jenis
barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelas barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Jika
satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka di samping dirumuskan
dalam bentuk kalimat dengar rincian, dapat pula dipertimbangkan
penggunaan rumusan dalam bentuk tabulasi.
Contoh:
Pasal 17
Yang
dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang telah berusia
17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin dan telah terdaftar pada daftar
pemilih.
Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipaham jika dirumuskan sebagai berikut:
Contoh rumusan tabulasi:
Pasal 17
Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang:
a) telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin; dan
b) telah terdaftar pada daftar pemilih.
Dalam membuat rumusan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frase pembuka;
b) setiap rincian diawali dengan huruf (abjad) kecil dan diberi tanda baca titik;
c) setiap frase dalam rincian diawali dengan huruf kecil;
d) setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma;
e) jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil, maka unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam;
f) di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik dua;
g) pembagian
rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan abjad kecil, yang
diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda baca
titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan
tanda baca kurung tutup;
h) pembagian
rincian hendaknya tidak melebihi empat tingkat. Jika rincian melebihi
empat tingkat, perlu dipertimbangkan pemecahan pasal yang bersangkutan
ke dalam pasal atau ayat lain;
i) jika
unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian
kumulatif, ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian
kedua dari rincian terakhir;
j) jika
rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif
ditambahkan kata atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari
rincian terakhir;
k) jika
rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan
alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang
rincian kedua dari rincian terakhir;
l) kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian.
A. Ketentuan Umum
Ketentuan
umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika dalam Peraturan PerUndang -
Undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan
dalam pasal-pasal awal.
Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
Ketentuan umum berisi:
a) batasan pengertian atau definisi;
b) singkatan atau akronim vang digunakan dalam peraturan;
c) hal-hal
lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya antara
lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.
Frase pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksudkan dengan Frase pembuka dalam ketentuan umum peraturan perundang-undangan di bawah Undang- Undang disesuaikan dengan jenis peraturannya.
Jika
ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi singkatan atau
akrorim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut
dengan angka Arab dan diawali dengan huraf kapital serta diakhiri dengan
tanda baca titik.
Kata
atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau
istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal (-pasal)
selanjutnya.
Jika
suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau
istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau
paragraf tertentu, dianjurkan agar kata atau istilah itu diberi
definisi.
Jika
suatu batasan pengertian atau definsi perlu dikutip kembali di dalam
ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka ramusan batasan
pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama
dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat didalam
peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
Karena
batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi,
untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian
atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan,
dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan pengertian ganda.
Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a) pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;
b) pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
c) pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan.
B. Materi Pokok yang Diatur
Materi
pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan
jika tidakada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan
setelah pasal-pasa ketentuan umum.
Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yangdijadikan dasar pembagian.
Contoh:
Pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
a) kejahatan terhadap keamanan negara;
b) kejahatan terhadap martabat Presiden;
c) kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya;
d) kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;
e) kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya;
f) pembagian
berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara
pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding,
tingkat kasasi, dan peninjauan kembali;
g) pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.
C. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
Ketentuan
pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas
pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah.
Dalam
merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan
pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan
yang dapat dipidana menurut Peraturan Perundangundangan lain, kecuali
jika oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana).
Dalam
menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan
mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat
serta unsur kesalahan pelaku.
Ketentuan
pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana
yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab
ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya
adalah sebelum bab ketentuan penutup.
Jika
di dalam Peraturan Perandang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab
per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung
sebelum pasal-pasal yang berisi ketentuan peralihan. Jika tiidak ada
pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan
sebelum pasal penutup.
Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
Rumusan
ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau
perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal-pasal yang memuat norma
tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari:
a) pengacuan
kepada ketentuan pidana Peraturan PerUndang - Undangan lain. pengacuan
kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika elemen atau unsur-unsur
dari norma yang diacu tidak sama; atau
b) penyusunan
rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di norma-norma yang
diatur dalam pasal-pasal sebelumnya, kecuali untuk Undang-Undang tindak
pidana khusus.
c) jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frase setiap orang.
Contoh:
Pasal 81
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya
dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk
barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000,00
(seratus ribu rupiah). Jika
ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu
dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri, saksi.
Contoh:
Pasal 95
Saksi
yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak
pidana narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000, 00 (tiga ratus juta rupiah).
Sehubungan
adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana
pelanggaran di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan
pidana harus menyatakan secara tegas apakah perbuatan yang diancam
dengan pidana itu dikualifikasikan sebagai pelanggaran atau kejahatan.
D. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
Ketentuan
peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan PerUndang - Undangan
yang sudah ada pada saat Peraturan PerUndang - Undangan baru mulai
berlaku, agar Peraturan PerUndang - Undangan tersebut dapat berjalan
lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum.
Ketentuan
peralihan dimuat dalam bab ketentuan peralihan dan ditempatkan di
antara bab ketentuan pidana dan bab Ketentuan Penutup. Jika dalam
Peraturan perundang-undangan
tidak diadakan pengelompokan bab, pasal yang memuat ketentuan peralihan
ditempatkan sebelum pasal yang memuat ketentuan penutup.
Pada saat suatu peraturan perundang-undangan
dinyatakan mulai berlaku, segala hubungan hukum yang ada atau tindakan
hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat maupun sesudah peraturan
perundang-undangan yang baru itu dinyatakan mulai berlaku, tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan baru.
Di dalam peraturan perundang-undangan
yang baru, dapat dimuat pengaturan yang memuat penyimpangan sementara
atau penundaan sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum
tertentu.
Penyimpangan sementara itu berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakusurutkan.
Jika
suatu Peraturan PerUndang - Undangan diberlakukan surut, Peraturan
Perundang- undangan tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai status
dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam
tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku surut dan tanggal mulai
berlaku pengundangannya.
Contoh:
Selisih tunjangan perbaikan yang timbul akibat Peraturan Pemerintah ini dibayarkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak saat tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.
Mengingat
berlakunya asas-asas umum hukum pidana, penentuan daya laku surut
hendaknya tidak diberlakusurutkan bagi ketentuan yang menyangkut pidana
atau pemidanaan.
Penentuan daya laku surut sebaiknya tidak diadakan bagi Peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret kepada masyarakat.
Jika penerapan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan ditunda sementara,
bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan Peraturan
Perundang-undangan tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan
hukum dan hubungan hokum mana yang dimaksud, serta jangka waktu atau
syarat-syarat berakhirnya penundaan sementara tersebut.
Contoh :
Izin
ekspor rotan setengah jadi yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan
Pemerintah ....Tahun .... masih tetap berlaku untuk jangka waktu 60
(enam puluh) hari sejak tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.
Hindari
rumusan dalam ketentuan peralihan yang isinya memuat perubahan
terselubung atas ketentuan Peraturan Perandang-undangan lain. Perubahan
ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengertian baru di dalam
ketentuan umum peraturan perundang-undangan atau dilakukan dengan membuat Peraturan PerUndang - Undangan perubahan.
Contoh:
Pasal 35
1) Desa atau yang disebut dengan nama lainnya yang setingkat dengan desa yang sudah ada pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan sebagai desa menurut Pasal I huruf a.
E. Ketentuan Penutup
Ketentuan
penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan
pengelompokan bab, ketentuan penutup ditempatkan dalam pasal-pasal
terakhir.
Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan mengenai:
a) penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
b) nama singkat;
c) status peraturan perundang-undangan yang sudah ada; dan
d) saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan.
Ketentuan penutup dapat memuat peraturan pelaksanaan yang bersifat:
a) menjalankan
(eksekutif), misalnya, penunjukan pejabat tertentu yang diberi
kewenangan untuk memberikan izin, mengangkat pegawai, dan lain-lain;
b) mengatur (legislatif), misalnya, memberikan kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaan.
Penutup
Penutup merupakan bagian akhir Peraturan PerUndang - Undangan dan memuat:
a) rumusan
perintah pengundangan dan penempatan Peraturan PerUndang - Undangan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik
Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah;
b) penandatanganan pengesahan atau penetapan peraturan perundang-undangan;
c) Pengundangan Peraturan PerUndang - Undangan; dan
d) akhir bagian penutup.
Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan PerUndang - Undangan memuat:
a) tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan;
b) nama jabatan;
c) tanda tangan pejabat; dan
d) nama lengkap pejabat yang mendatangani, tanpa gelar dan pangkat.
Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan di sebelah kanan.
Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
Komentar